Posted by: Pesona Jawa | 07/06/2011

Perjalanan Wisata ke Cibeo, Baduy Dalam

Pagi hari di Museum Mandiri tanggal 28 Mei 2011 saya bersama Marsad & Midji mempersiapkan semua kebutuhan untuk perjalanan ke Baduy Dalam. Setelah semua beres, kami berangkat ke Stasiun Kota jam 07.00 untuk menunggu para peserta. Rencananya kami naik Kereta Ekonomi ke Rangkasbitung yang berangkat jam 07.51 dengan tarif Rp. 2000,-. Salah satu peserta ada yg menitipkan mobil di Museum Mandiri.

Setelah semua peserta datang kami langsung menuju ke kereta di jalur 7. Kami semua duduk di gerbong 3. Kereta yg jadwalnya jam 07.51 baru berangkat jam 08.05. Saat berangkat dari Stasiun Kota kereta yang kami naiki masih cukup kosong. Cuaca tampak cerah, hanya sedikit berawan. Saat memasuki Stasiun Sudimara kereta baru mulai penuh dan semakin banyak pedagang asongan yang berkeliling.

Setelah perjalanan yang cukup lancar sampailah kami di Stasiun Rangkasbitung jam 10.55. Sambil menunggu mobil carteran kami makan siang terlebih dahulu di warung makan dekat stasiun. Setelah cukup istirahat kamipun naik mobil dan berangkat jam 12.45. Di tengah perjalanan mobil mesti mengisi solar dan juga menjemput 1 orang peserta yang telah terlebih dahulu berada di Rangkasbitung.

Berbeda dari rute umum yang menuju Ciboleger, kami memilih melewati jalur Parigi/Kroya melalui Jl. Raya Bojong Manik agar bisa langsung menuju Baduy Dalam. Jalanan yg dilewati berbukit dan berkelak-kelok. Perbukitan di kiri-kanan jalan cukup rimbun dan terlihat banyak ditanami pohon Albasia. Beberapa wilayah jalan sangat baik karena baru diaspal, tetapi mendekati Kroya kondisi jalan rusak cukup parah sehingga kami terguncang-guncang dan membuat salah satu peserta agak mabuk perjalanan.

Mobil yang kami tumpangi akhirnya sampai tujuan jam 14.55 dan kami turun di Cijahe. Di sini kami berhenti sebentar untuk istirahat sejenak dan memberikan kesempatan bagi peserta yang mau sholat. Setelah istirahat kami langsung melanjutkan perjalanan memasuki wilayah Baduy Dalam dipandu oleh Mulyono, remaja warga kampung Balimbing kenalan kami yang merupakan cucu Pak Nasina. Sebelum itu tidak lupa kami mengingatkan para peserta untuk mematikan dan menyimpan semua peralatan elektronik yang dibawa.

Perjalanan ke Cibeo memakan waktu sekitar satu setengah jam dengan didukung cuaca yang cerah. Setelah melewati Cikartawana akhirnya sampailah kami di Cibeo. Di sini kami bermalam di rumah Pak Nalim. Menjelang senja kami mandi di kali dan pancuran yang terletak di pinggir kampung. Air yang bening dan dingin terasa sangat menyegarkan dan menghilangkan penat sisa perjalanan. Setelah tubuh terasa segar sehabis mandi dan sambil menunggu makan malam disiapkan kamipun ngobrol-ngobrol dengan Pak Nalim dan beberapa orang Cibeo lainnya yang kebetulan mampir.

Makan malam kami terdiri dari nasi putih, mi instan, sardin kalengan, ikan asin dan oreg tempe. Semua makanan tersebut kami bawa sendiri dan dimasak oleh tuan rumah. Untuk mi instan, setiap kali kami ke Baduy kami memang selalu membawanya dalam jumlah yang banyak karena kami tahu mereka sangat menggemarinya. Makan malam kami yang sederhana itu terasa nikmat karena suasana kampung yang sangat tradisional dengan diterangi lentera dari batok kelapa dan bambu dan ditambah suara serangga-serangga malam yang bersahut-sahutan. Di tengah suasana yang tenang tersebut sesekali terdengar gonggongan anjing penjaga kampung.

Setelah makan malam kami masih berbincang-bincang santai sambil bercanda, apalagi sebagian peserta baru kali ini menginjakkan kaki di Baduy Dalam. Berada di Baduy Dalam bagi kami serasa waktu berhenti berputar. Setelah mata kami terasa semakin berat akhirnya lentera pun dimatikan dan kami beranjak tidur.

Sekitar jam 3 pagi ayam-ayam jago mulai berkokok, lentera-lentera mulai dinyalakan dan kampungpun kembali hidup. Dari rumah-rumah sekitar suara obrolan di awal pagi mulai terdengar. Tuan rumah kamipun mulai menyalakan tungkunya untuk mempersiapkan makan pagi sedangkan istri dan anak gadisnya pergi ke kali untuk mencuci perabotan makan. Melihat aktifitas kampung di awal hari sungguh merupakan pengalaman yang sukar untuk dilupakan dan membuat kami merasa betah. Sayangnya keindahan kampung tradisional ini tidak dapat kami abadikan karena aturan adat yang melarangnya dan kamipun memang mematuhinya.

Setelah bersih-bersih badan kami sarapan dan bersiap-siap melanjutkan perjalanan ke Balimbing, Baduy Luar. Sambil menunggu berangkat banyak di antara peserta yang membeli suvenir khas Baduy berupa tas, topi dan gelang yang dibuat dari rajutan kulit pohon. Banyak juga yang membeli madu lebah hutan dan gula aren untuk oleh-oleh.

Jam 08.00 pagi kamipun dengan berat hati berangkat meninggalkan Cibeo. Jalur ke Balimbing memang lebih panjang dibandingkan dengan rute kemarin. Selain itu lebih banyak tanjakan dan turunan yang curam. Ada satu turunan yg cukup panjang dan terjal sebelum sampai ke sungai batas wilayah Baduy Dalam, di sisi kiri dan kanan terlihat jurang yang dalam. Untungnya hari itupun hujan tak turun sehingga perjalan kami relatif lancar.

Kami sempat beristirahat sejenak di sungai dekat kampung Cipaler. Sungai tersebut dangkal dan berair jernih sehingga kami bisa membersihkan diri dan merendam kaki di aliran air yg dingin. Kami berhenti di sini sekitar 15 menit. Akhirnya jembatan bambu yang cukup panjang membawa kami keluar dari batas wilayah Baduy dalam.

Setelah perjalanan yang cukup melelahkan akhirnya kami tiba di Balimbing jam 11.10 siang. Kami beristirahat di rumah Kang Sarpin, ayah dari Mulyono. Rumah Kang Sarpin bisa dikatakan merupakan rumah terbesar di Balimbing, atau bahkan di seluruh Baduy. Kami memang mengenal Kang Sarpin sudah sangat lama. Di sini kami makan siang dan bersih-bersih sebelum berangkat ke Ciboleger untuk pulang ke Jakarta. Sambil istirahat dan mengisi waktu senggang para peserta bisa melihat peralatan tenun tradisional milik istri Kang Sarpin. Para peserta wanita bahkan memilih kain-kain hasil tenunan yang banyak macamnya untuk dibawa sebagai oleh-oleh.

Kami meninggalkan Balimbing jam 13.00 dan sampai di Ciboleger jam 13.45. Dari Ciboleger kami akan naik mobil sewaan menuju Jakarta. Setelah berfoto bersama kamipun naik mobil dan berangkat pulang ke Jakarta jam 14.30.

Untuk sampai ke Jakarta kami melalui Jl. Raya Rangkasbitung yang kondisinya sangat parah. Banyak wilayah jalan yang sudah diganti betonpun ambles di sana-sini karena banyaknya truk-truk besar berisi pasir yang melintasi wilayah itu. Setelah memasuki Tol Jakarta-Merak barulah perjalanan terasa lancar. Masuk Jakarta beberapa peserta turun di beberapa titik perhentian, di antaranya, Halte Benhil, Harmoni dan Dukuh Atas. Perjalanan berakhir di Museum Mandiri jam 21.00 dan kami berpisah membawa kenangan perjalanan yang indah.

Posted by: Pesona Jawa | 13/03/2011

Jalan-jalan Ke Pangalengan, Bandung

Senin, tanggal 7 Maret kemarin Pesona Jawa melakukan perjalanan ke Pengalengan, Bandung dalam rangka survey wisata dengan tujuan PLTA Lamajan. Saya (Doreng) bersama Marsad berangkat dari Kampung Rambutan sekitar pukul 8.30 menumpang bus AC jurusan Bandung. Perjalanan bus cukup lancar melewati Tol Cipularang dan tiba di Terminal Leuwipanjang sekitar tengah hari. Hari itu matahari terasa cukup menyengat. Dari terminal kami melanjutkan perjalanan dengan menumpang bus ¾ jurusan Pangalengan. Perjalanan cukup lambat karena bus masih mencari penumpang dan memutar dulu di Jl. Moh. Toha. Sampai di pasar daerah Banjaran buspun masih ngetem lagi cukup lama. Melewati Banjaran perjalanan baru mulai lancar dan tak lama kemudian jalan mulai menanjak. Perbukitan mulai terlihat dan suhu terasa lebih sejuk.

Beberapa kilometer sebelum PLTA Lamajan kami melewati PLTA Cikalong di sebelah kanan jalan. Dan mendekati lokasi PLTA Lamajan kami bisa melihat pipa pesat (penstock) berwarna kuning di atas perbukitan di depan kami. Warna kuning pipa pesat tersebut terlihat unik dan kontras dengan perbukitan di sekitarnya yang kehijauan. Sayang kami tidak berhasil mengambil foto pemandangan tersebut karena jalanan yang berkelok-kelok dan tebing yang menghalangi kami.

Tak lama kemudian akhirnya sampailah kami di PLTA Lamajan sekitar jam dua siang. Sebelum masuk ke PLTA kami memutuskan untuk makan siang dulu di warung terdekat sambil meluruskan kaki setelah beberapa jam duduk di kendaraan. Setelah makan siang kami masuk ke PLTA Lamajan. Cuaca terasa sejuk dan langit mulai mendung, tampaknya tak lama lagi akan hujan. Setelah melapor di pos keamanan dan mengisi buku tamu kami diperbolehkan melihat-lihat ke dalam. Pemandangan dari PLTA yang terletak di bukit ini cukup indah dan kami bisa melihat kota Bandung di kejauhan. Kami sempat mengambil beberapa foto pemandangan kota Bandung dari situ.

Rasa penasaran membuat kami segera menghampiri lori pengangkut petugas untuk menuju ke turbin. Ternyata pemandangan yang terlihat lebih menakjubkan dari foto-foto yang sebelumnya kami lihat. Lori yang ditarik dengan menggunakan sling baja tersebut harus melewati rel menuruni lereng dengan kemiringan 70-80 derajat. Cukup menciutkan nyali, terutama bagi saya yang mampunyai  masalah dengan ketinggian. Di samping kanan rel lori terdapat tangga turun untuk ukuran satu orang yang tidak kalah curam. Setelah menimbang-nimbang akhirnya saya memutuskan untuk memilih naik lori karena mulai turun rintik hujan, sedangkan tangganya terlihat ditumbuhi lumut. Pukul 3.00 tepat kami turun menggunakan lori bersama 3 orang petugas yang akan menuju ke turbin di bawah. Lori yang menurut perkiraan saya berkapasitas 10 orang tersebut berjalan dengan perlahan. Sebelumnya saya dan Marsad memutuskan untuk naik menggunakan tangga agar lebih santai, karena lori tersebut akan langsung naik lagi. Di sisi lain kamipun ingin mencoba menghitung anak tangga yang katanya berjumlah 400 undakan dan juga sekalian mengetes kekuatan kaki kami. Sayangnya hujan turun semakin lebat sehingga kami tidak bisa berlama-lama dan langsung naik lori lagi. Lori yang awalnya hanya dinaiki 5 orang sekarang harus memuat 15 orang dalam perjalanan ke atas. Bila setiap orang dianggap rata-rata berbobot 60kg, berarti lori yang tidak terlalu besar tersebut mengangkut beban seberat 900kg, hampir satu ton (bobot saya saja sebenarnya 70kg). Jantung saya berdegup kencang, untungnya pemandangan dari tempat itu cukup memanjakan mata sehingga perhatian saya teralihkan. Jarak yang ditempuh sebenarnya tidak terlalu jauh, sekitar 250m tetapi lori tersebut membutuhkan waktu sekitar 10 menit. Dan akhirnya sampailah kami semua kembali ke atas.

Setelah hujan reda kami memutuskan untuk melanjutkan perjalanan. Kali ini kami menuju perkebunan teh PTPN VIII Malabar. Untuk sampai ke sana kami naik bus ¾ ke Pangalengan dan melanjutkan dengan angkot tujuan Pintu. Perjalanan ke perkebunan teh tersebut memakan waktu tidak sampai 1 jam. Kami tiba di Pintu sekitar jam 5.00 sore dan langsung menuju gerbang PTPN VIII tidak jauh dari situ. Kami berjalan kaki menyusuri jalan aspal di dalam perkebunan teh tersebut menuju mausoleum/makam Bosscha yang terkenal itu. Cuaca terasa mulai menggigit, apalagi kami berjalan diiringi rintik hujan. Sayangnya pemandangan yang indah di lembah tersebut tidak bisa kami rekam karena cuaca mendung menjelang maghrib dan kami hanya membawa kamera pocket.

Sekitar 15 menit kemudian sampailah kami di makam Bosscha. Pagar makam tertutup karena kami tiba sudah sangat sore. Di depan makam terdapat tugu batu yang mengingatkan kita akan kontribusi yang diberikan Bosscha. Bentuk makamnya sendiri sepintas mengingatkan kita pada makam istri Raffles di Kebun Raya Bogor. Karena hari mulai gelap kami harus segera memutuskan di mana akan menginap. Sambil berfikir kami melanjutkan berjalan kaki ke dalam wilayah perkebunan. Sekitar 15 menit berjalan kaki kami melewati bekas rumah peristirahatan Bosscha yang kondisinya sangat terawat. Di sekitarnya dibangun beberapa cottage untuk disewakan bagi pengunjung. Berjalan sedikit dari situ ternyata kami sudah memasuki wilayah perumahan karyawan PTPN VIII.

Karena kami tiba tepat saat adzan maghrib akhirnya kami memutuskan berhenti dan beristirahat di masjid perumahan tersebut. Setelah bersosialisasi dengan penduduk setempat kamipun kemudian memutuskan untuk bermalam di masjid tersebut. Dari hasil ngobrol-ngobrol tersebut kami ditunjukkan jalan menuju Gunung Nini, tempat Bosscha dahulu sering memantau perkebunan teh tersebut dan juga melakukan observasi astronomi sebelum membangun teropong bintang di Lembang. Setelah malam semakin larut kamipun akhirnya tidur menggunakan sleeping bag yang cukup menolong dari terpaan hawa yang sangat dingin.

Esok paginya setelah subuh kami langsung menuju Gunung Nini yang sebetulnya hanyalah sebuah bukit di tengah perkebunan teh. Jalan tanah menuju Gunung Nini ternyata cukup lebar dan biasa dilalui pickup yang mengangkut para pemetik teh. Jalan tersebut cukup landai tetapi agak jauh berputar-putar. Untuk menghemat waktu kamipun akhirnya mengambil jalan pintas yang agak curam, kelihatannya merupakan jalur air. Setelah lelah menanjak sampailah kami di puncak Gunung Nini. Di atas bukit ini terdapat shelter yang cukup besar dan di dekatnya terlihat sebuah menara pemancar. Lagi-lagi kami disuguhi pemandangan yang sangat indah. Dari sana kami bisa melihat kota Bandung, danau Cileunca dan asap uap air panas instalasi hydropower di wilayah itu. Kabut tebal yang meliputi perbukitan itu semakin menambah indahnya suasana. Cuaca yang masih menggigit ditambah basahnya badan kami dari embun yang menempel di daun-daun teh membuat tubuh agak menggigil. Kami tidak bisa membayangkan bagaimana dinginnya tempat itu di musim kemarau. Belum puas menikmati alam dan pemandangan di tempat itu kamipun akhirnya harus kembali ke Jakarta.

Jam 9.00 mulai turun dari atas bukit. Dalam perjalanan pulang kami menyempatkan mampir sebentar ke rumah Bosscha. Rumah tersebut terlihat asri dan di dalamnya masih terdapat beberapa perabot peninggalan Bosscha, di antaranya piano, lemari dan furnitur. Keluar dari rumah Bosscha kami langsung menuju Jakarta melalui rute yang sama. Akhirnya kami tiba kembali di Jakarta sekitar pukul 5.00 sore. Baru saja tiba di Jakarta kami sudah tidak sabar untuk berkunjung lagi ke Pangalengan 😉

Categories